
Sholehuddin*
Belum reda kasus meninggalnya salah seorang santri di sebuah pesantren besar dan tua di Ponorogo, kemarin publik dikejutkan dengan peristiwa serupa di sekolah berasrama (boarding school) di Sidoarjo. Peristiwa ini menambah daftar kekerasan yang berujung kematian di lembaga yang seharusnya tertanam nilai-nilai damai dan persaudaraan.
Kasus itu menimbulkan pertanyaan, bagaimana pola pengasuhannya. Sebab, dengan jumlah santri yang besar mempersulit sistem pengawasan. Dan, hampir dipastikan kejadian itu tanpa sepengatahuan guru pendamping apa lagi pengasuh atau pimpinan asrama.
Saya yakin sejatinya pesantren atau sekolah berasrama sebesar itu sudah memiliki standar operasional prosedur (SOP) pola pengasuhan jika terjadi pelanggaran, termasuk siapa yang memberikan sanksi. Hanya, yang menjadi problem biasanya ketidak sambungan antar sub sistem pola pengasuhan dan tidak djjalankannya SOP.
Dua kasus yang baru saja terjadi memunculkan beberapa fakta, pertama, terjadinya main hakim sendiri. Kedua, dilakukan oleh teman atau santri senior. Dan ini sering terjadi di berbagai lembaga pendidikan terutama yang berasrama.
Pola pengasuhan bertingkat dan budaya KPK: Sebuah pengalaman
Sekadar pengalaman ketika saya tinggal di pesantren An- Nidhomiyah Ngelom. Sebuah pondok pesantren salafiyah dengan jumlah santri tiga ratusan yang kala itu belum ada SOP secara resmi, tetapi secara praktis pola pengasuhan sudah berjalan dengan baik. Ini juga dilakukan di pesantren-pesantren lain. Pola yang diterapkan pertama adalah sistem bertingkat. Misalnya, setiap kamar yang berjumlah 20-an santri dipimpin ketua kamar. Ketua kamar adalah santri senior.
Selain ketua kamar, kala itu ada pengawas atau pembina yang berlatar Ustadz muda yang belum berkeluarga. Para ustadz ini sebagai pengawas (mufattis) yang bertugas mengawasi keseharian para santri di bawah komando ketua kamar.
Baca Juga : PC ISNU SIDOARJO LANJUTKAN PROGRAM ROMBONGISASI
Pola pengasuhan bertingkat ini jamak juga diterapkan di dunia militer, perhajian. Misalnya, ketua regu membawahi 10 jamaah. Ketua Rombongan membawahi 2 regu. Setiap ketua rombongan bertanggung jawab kepada Ketua Kloter. Dengan pola bertingkat memudahkan pengawasan dan pengendalian.
Jika terjadi masalah, ketua kamar konsultasi ke ustadz kamar dan jika diperlukan tindakan lanjutan diserahkan kepada tim keamanan (qismul aman). Setelah itu baru dilakukan sidang untuk ditentukan sanksi sesuai kesalahannya. Dan, sanksi juga harus jauh dari kekerasan fisik. Maksimal saat itu plonco (meski ini masih pro kontra), membersihkan kamar mandi, halaman dan lain-lain.
Dalam konteks saat ini hukuman yang lebih edukatif masih bisa dilakukan. Misalnya baca tahlil atau ‘aurad’, baca satu juz Al Quran, adzan di masjid, dan masih banyak lagi yang bisa diterapkan. Satu hal lagi, apapun kejadian harus dilaporkan dan sepengetahuan pengasuh, termasuk penerapan sanksi.
Kedua, budaya Kesantunan, Persahabatan dan Kekeluargaan (KPK). Pola bertingkat masih relevan. Meskipun demikian, budaya atau kultur kesantunan, persahabatan dan kekeluargaan di dunia pesantren jauh lebih diutamakan. Kultur ini akan membuka jurang pemisah antara senior dan yunior. Dan, itu diawali dari interaksi sehari-hari. Kami saat itu sudah biasa ‘guyon’ dengan ustadz, atau santri yunior tanpa harus mengurangi adab dan sopan santun antara senior dan yunior, antara murid dan guru.
Dengan jumlah ribuan santri, pola semacam itu bisa dilakukan meski kendala tidak semudah santri yang berjumlah ratusan dan puluhan. Maka, mengedukasi dan menumbuhkan pola kedua tetap menjadi hal pokok. Menumbuhkan kesantunan dan adab harus tetap diutamakan, sebab, “Al Adab Fauqal ‘ilmi”, demikian karakter dan jiwa santri sejati.
Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah alumni Ponpes. An-Nidhomiyah Ngelom Taman Sidoarjo.
Ketua ISNU Sidoarjo dan Widyaiswara BDK Surabaya.