Sidoarjo, isnusidoarjo.org.
Hari Santri Nasional (HSN) tahun ini merupakan kali ke Tujuh diperingati sejak ditetapka presiden Jokowi melalui Keppres No. 22 Tahun 2015. Menurut Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PS ISNU) Sidoarjo Sholehuddin melalui sambungan whatsap kepada tim isnusidoarjo.org, HSN sebagai apresiasi tak terhingga pemerintah kepada kaum santri. Meski semula menuai kontroversi tidak saja dari kalangan internal pesantren, tapi juga di luar pesantren. Semula diusulkan oleh sebagian santri di Malang tanggal 1 Muharram, tapi oleh PBNU dipilih tanggal 22 Oktober. Alasannya ini bertepatan moment Resolusi Jihad Hadlaratus Syaikh Hasyim Asy’ari.

Tanggal ini pun juga sempat ditentang kalangan ormas lain. Alasannya hanya merepresentasikan kelompok tertentu. Tetapi seiring perkembangam waktu, menurut Widyaiswara Kemenag itu, lambat laun HSN sudah bisa diterima semua kalangan. “HSN untuk semua”, ujarnya. Ini juga merujuk pidato tertulis yang dibacakan Kabalai Diklat pada saat Upacara HSN (Sabtu, 22/) bahwa HSN bukan hanya milik golongan tertentu, tetapi milik suluruh bangsa.

Maka, tidak heran jika tahun ini peringatan lebih semarak, apalagi selepas pandemi. Kantor-kantor Kemenag dan satker-satker menggelar upacara demgan kostum ala santri. Yang tidak kalah menarik, di sela sela upacara dibacakan Ikrar Santri. “Saya diminta oleh pimpinan untuk memandu ikrar yang diikuti peserta dari berbagai kalangan secara serempak”, ujar Sekretaris BPP Unusida itu. Begitu pula pusat- pusat pemerintah daerah, balai kota dan alun alun dan tentu Nahdlatul Ulama dari PBNU hingga cabang juga mengikuti apel.

Jika melihat tema, “Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan”, menurut Instruktur Nasional Moderasi Beragama itu, ini sejalan dengan semangat gerakan moderasi beragama. “Tema ini identik dengan Moderasi Beragama. Seperti disebutkan dalam Peta Jalan Moderasi Beragama. bahwa, Moderasi Beragama diartikan sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bernegara” ulasnya.

Baca Juga : ISNU SIDOARJO TERIMA SERTIFIKAT TERBANYAK

Latar hadirnya Penguatan Moderasi Beragama (PMB) menurutnya didasarkan pertama berkembangnya sikap beragama secara ekstrim yang tidak mengedepankan martabat kemanusiaan. Kedua, berkembangnya klaim kebenaran secara subyektif yang tidak didukung dengan dalil secara komprehensif. Dan ketiga, berkembangnya semangat beragama tetapi mengesampingkan kecintaan kepada tanah air.

Dosen IAI Al Khoziny dan Pascasarjana INAIFAS itu menegaskan bahwa prinsip beragama sejatinya menjunjung tinggi keadaban mulia. Agama mengajarkan memanusiakan manusia. Jiwa manusia menjadi sangat berharga dalam persketif agama. Hal ini bermuara pada tujuan dan esensi agama, hifdzun nafs.

Menurutnya, menjaga martabat kemanusiaan adalah kunci kedamaian. Negara ini bisa damai apabila setiap warga negara saling menghargai, mengayomi, dan melindungi. “Di sinilah pentingnya moderasi beragama sebagai instrumen mewujudkan kedamaian dengan bahasa agama dalam rangka menjaga keutuhan NKRI”, tuturnya. Hal ini tidak lepas dari mudahnya merusak bangunan negara dengan bahasa agama. Banyak negara ambruk bukan karena tentaranya yang lemah, tapi ketidak mampuan mengelola kemajemukannya. Dengan bahasa agama, mereka melawan negara.

Jika merujuk sejarahnya, santri sangat getol mempertahankan NKRI. Resolusi Jihad yang diinisiasi Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sebagai bukti sejarah kuatnya peran santri dalam menjaga NKRI melalui pertempuran Surabaya. Dalam konteks saat ini, peran santri dalam menjaga NKRI kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sidoarjo itu bisa melalui Penguatan Moderasi Beragama (PMB).
Sejarah santri dengan pesantrennya telah berhasil membangun doktrin Islam Wasathiyah atau wasathiyatul Islam dan ini menjadi tradisi pesantren dengan Islam  moderatnya. “Maka, jika ada santri atau pesantren yang tidak moderat, sudah jelas bahwa hal itu keluar dari tradisi dan jati diri pesantren yang sesungguhnya” ujarnya.

Dalam kehidupan sosial, pesantren kata lulusa terbaik program doktor Uinsa itu membaur dengan masyarakat sekitar. Para santri berinteraksi dalam kegiatan kemasyarakatan. Ro’an atau kerja bakti misalnya menjadi instrumen dalam kehidupan sosial pesantren. Antara pesantren dan masyarakat bisa saling tukar imformasi, bahkan secara ekonomi. Kerja sama saling menguntungkan tercipta. “Secara tidak langsung proses pendidikan memanusiakan manusia ada di sini. Menjaga martabat kemanusuaan sebagaimana tema di atas sudah ada sejak lahirnya pesantren dan kehidupannya. Semua itu tidak lepas dari inklusifitas dunia pesantren” tegasnya.

“Maka, sudah saatnya para santri atau tepatnya kaum santri berada terdepan dalam gerakan PMB. Di manapun dan apapun profesinya, dia harus menjadi pelopor PMB. Dalam teori tangga kepemimpinan, kepemimpinan santri yang memjelma menjadi kepemimpinan kharismatik kyai, dengan bahasa agama efektif bisa menggerakkan pengikutnya di akar rumput” pungkasnya. Selaku ketua ISNU Sidoarjo  ia tak lupa mengucapkan, “Selamat Hari Santri Nasional 2022”.

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *