Sidoarjo, isnusidoarjo.org.
Moderasi Beragama dan Fiqih Peradapan secara praktis telah mendunia. Itu tergambar dari Sharing Session “Islamic Tradition and Knowladge” pada rangkaian “Cultural Camp 2023” Universitas NU Sidoarjo -Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya di UNUSIDA (6/10). Kegiatan ini diikuti 10 mahasiswa asing dari 8 negara. Pada sesi ini, hadir selaku narasumber Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Sidoarjo yang juga Sekretaris Badan Pelaksana Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo (BPP UNUSIDA) dan H. Sururi Arumbani, Direktur TV 9.
Di awal pembicaraannya, widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya tersebut memaparkan kondisi Indonesia dengan keberagamannya. Menurutnya, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. “Jika bicara muslim, maka di benak kita ada NU. Data yang dikumpulkan, jumlah penduduk Indonesia 270 juta, 87% muslim. Dari 87% muslim yang mengaku NU 56%. Ini yang kemudian disebut kelompok Muslim Tradisional”, ungkapnya.
Besarnya jumlah warga NU dan umumnya muslim Indonesia menurut instruktir nasional moderasi beragama itu tidak lepas dari karakter Islam yang akomodatif terhadap tradisi dan budaya lokal. Islam masuk ke Indonesia tidak merusak tradisi, bahkan oleh pendakwah Islam dirawat dan dimasukkannya nilai-nilai Islami ke dalamnya. Dan, itu dilanjutkan oleh Nahdlatul Ulama.
Dosen IAI Al Khoziny tersebut menegaskan, secara prinsipil, kehadiran agama selalu bersinggungan dengan tradisi setempat. Karena itu, agama menurut Sholehuddin tidak perlu dibenturkan dengan budaya, tinggal bagaimana memanfaatkan budaya untuk mengenal dan menjalankan agama tanpa harus mengurangi kesakralan agama. Bagi seorang muslim tradisional, tradisi dan budaya hanyalah sarana menuju ajaran Islam.

Dia mengutip pandangan Husein Nasir, bahwa agama berisi norna ilahi dan kolektifitas manusia. Dipertegas Amin Abdullah menurutnya bahwa agama merupakan gabungan antara Normatifitas dan Historisitas. “Bahwa syariat sebagai norma tertinggi harus diterjemahkan berdasarkan sejarah kehidupan manusia dengan segala tradisi, budaya, dan bahasa. Tentu latar akan memengaruhi pandangan dan praktik dalam beragama” ujarnya.
Meski demikian, menyandingkan agama dan budaya tidak mudah. Menurut Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sidoarjo itu, ada pertentangan antara paham informal inklusif dengan eksklusif legal formalistik atau tekstualis dan kontekstualis. Kelompok formalis ini lebih dikenal dengan kelompok puritarianis.
“Paham puritarianis yang ingin memurnikan ajaran versi mereka tidak mau menerima Islam tradisi atau tradisi lokal meski bernuansa Islami. Dia juga menyontohkan kasus yang sedang viral, alat musik rebana yang digunakan mengringi salawat dianggap haram dan mungkar sehingga terjadi ujaran kasar di masjid. Tentu hal ini cara pandang berlebihan, karena musik rebana masih ikhtilaf.
Untuk itulah, upaya mengubah cara pandang melalui Penguatan Moderasi Beragama (PMB) sangat penting. Dalam buku Peta Jalan Penfuatan Moderasi Beragama disebutkan, “Moderasi Beragama (MB) adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanuaiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa”. Indikator Moderasi Beragama meliputi komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan menghormati tradisi.
Dalam pandangan Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja), An Nahdliyah, konsep MB tersebut sangat relevan. Sebab, dalam aswaja dikenal empat prinsip seperti Tawassuth (pertengahan atau jalan tengah). Tawazzun (keseimbangan), Tasamuh (toleran), dan I’tidal (tegak lurus).
Selain itu di dalam Aswaja ada Mabadi’ Khairu Ummah seperti sidiq dan amanah yang sarat dengan prinsip kemaslahatan ummat. Kemaslahatan umum menjadi salah satu dari 9 kata kunci moderasi beragama. Prinsip dasar ini jika dilanggar akan merusak kehidupan umat manusia. Perlu disadari, bahwa menciptakan kemaslahatan dalam mewujudkan kedamaian sama halnya membangun esensi agama. Sebaliknya merusak kehidupan apa lagi atas nama agama sama dengan merusak bangunan agama itu sendiri.
Pola Islam ramah ala PMB Kemenag dan Aswaja An Nahdliyah dipertajam lagi dengan gagasan Fiqih Peradaban ala Nahdlatul Ulama. Fiqih perdaban dalam hal ini menampilkan wajah baru tidak sekadar ritual tapi juga akhlaq fikih (fiqih akhlaqi). Bahwa budaya dan tradisi yang diejawantahkan dalam proses kolektifitas manusia, sejatinya cerminan dari ritual fikihnya. Semakin baik ritualnya makin baik akhlaqnya dengan sesama. “Itulah posisi tradisi Islami yang dipelajari para mahasiswa asing ITS bersama UNUSIDA dalam Cultural Camp 2023. Dengan demikian wajah Islam Rahmatan lilalamin makin mengglobal dari Unusida untuk Dunia”, pungkasnya.
Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta dari Solomon Island mengungkapan, mulanya mendengar nama Indonesia bayangan ke peristiwa kekerasan atas nama agama (terorisme). Namun setelah tahu sendiri tentang Indonesia pikiran berubah. Ia menjadi muallaf dan menikah dengan wanita muslimah asal Malang. Ia dan teman temanya lalu tertarik belajar tentang tradisi dan budaya Islam di Indonesia khususnya Sidoarjo.